Sastra menjadi belahan jiwa, Tulisan menjadi sebuah karya

Namaku Melati Lovebird. Kupilih nama 'Melati' karena ia Bunga yang harum, menghiasi hati, putih berseri dan melambangkan tanda suci. Tersemat di indahnya mahkota pengantin saat bahagia di hari yang dinanti-nanti. Aroma merona meneduhkan suasana. Walau tumbuh di antara belukar berduri, kecil mungil tertutup lebatnya dedaunan, namun menebarkan harum tanda cinta yang abadi di sepanjang waktu berganti. Kusandingkan namaku bersama 'Lovebird', sang burung yang tak kan terpisah tanda kesucian cinta. Tak akan pernah membagi hati, tak kan pernah mengkhianati...

Jumat, 23 November 2012

Mimpiku (Bagian Dua)

Oleh: Melati Lovebird

Semalam aku kembali bermimpi. Mimpi tentangmu yang terlihat amat nyata dan terasa bagikan realita.  Kali ini aku merasa sangat terharu dan bahagia, walau awalnya aku rasakan duka dan luka.

Pukul 8 pagi, dalam mimpi. Aku berada di hari bahagia, di saat aku dan dirimu akan bersama selamanya dalam ikatan janji setia, pernikahan. Segala persiapan telah dirancang dengan baik, undangan para tamu, sajian aneka makanan, hiasan dan dekorasi yang indah, walau hanyalah sebuah acara yang amat sangat sederhana.

Aku menanti kehadiranmu di sebuah masjid tempat akan dilangsungkan akad dan janji. Aku telah siap dengan dandanan terbaikku, mengenakan baju pengantin muslimah yang indah, polesan wajah nan cantik. Aku duduk di serambi masjid, menantimu dalam arak-arakan keluarga dan sahabat terdekat, yang akan menjadi saksi dalam akad kita berdua.

Waktu terus berlalu, ternyata tak hanya aku yang menanti di sana. Ada sepasang pegantin lainnya yang juga hendak melangsungkan pernikahan di masjid yang sama. Hanya saja acara yang mereka langsungkan sangat mewah dan meriah. Ah, bukan nilai sebuah acara yang menjadi tekad dan niat terbaik, namun segalanya kembali pada niat awal kita untuk menjalin asmara di bawah restu Ilahi dan membina cinta dalam kasih sayang Sang Khalik. Semata hanya untuk ibadah menggapai sakinah mawaddah warahmah.

Aku terus memperhatikan sepasang pengantin itu. Acara yang berlangsung sangat sakral. Aku jadi tak sabar untuk menanti kehadiranmu disisiku, wahai calon imanku. Hatiku semakin berdebar saat tetamu semakin ramai berdatangan. Entah itu untuk melihat pernikahanku, atau justru pernikahan pasangan pengantin yang sedari tadi sangat menarik perhatianku.

Aku masih terus menanti. Kulirik jam mini yang tersemat indah di tanganku. Hatiku mendadak resah. Satu jam telah berlalu namun dirimu belum juga hadir di hadapan. Teman-teman yang sedari tadi berada di sampingku terus saja bercengkrama riang. Sesekali mereka terus menggodaku dengan candaan, sesekali mereka sibuk mengabadikan gambar diriku dalam kamera dan handphone mereka. Aku menjadi sangat malu. Aku menjadi pusat perhatian para tetamu.

Aku semakin resah. Lebih dari satu jam kini telah berlalu. Ibuku menghampiri dan mengungkapkan sesuatu, saat ia melihat aku mulai gelisah dan resah menunggu.

“Mungkin rombongan linto (mempelai laki-laki) ngak bisa masuk perkarangan masjid karena terhalang oleh rombongan pengantin yang sedang melangsungkan acara itu” sahut ibuku meduga-duga.

Aku mengangguk pertanda menyetujui dugaannya. Entah itu dapat sedikit mengobati keresahan hatiku.

“Iya mungkin juga. Tamunya juga banyak” jawabku sembil terus memperhatikan para tamu yang terus berdatangan silih berganti, meramaikan acara pasangan yang baru saja melangsungkan akad nikah mereka. Aku merasa maklum, karena sunguhan makanan yang tersedia sangatlah banyak tertata rapi di halaman masjid. Pastilah mereka langsung merayakan acara akad mereka di sini.

“Iya, kayaknya pesta orang kaya. Tuh makanannya aja banyak” tegas salah satu temanku yang berada di sampingku sejak awal kami tiba di masjid ini.

***
Aku kembali memperhatikan para tetamu yang hadir bersamaku. Mereka yang akan menjadi saksi akad yang akan berlangsung dalam pernikahanku. Tak banyak, hanya keluarga, sahabat, dan teman terdekat. Bila dibandingkan dengan pasangan yang baru saja menikah tadi, tidak sebanyak tamu yang ikut meramaikan pernikahan mereka.

Tamu demi tamu semakin berkurang. Sudah banyak yang beranjak pulang. Aku terus saja memperhatikan pasangan yang telah menikah itu. Mereka terlihat begitu bahagia. Sesekali tawa lepas menghiasi wajah mereka saat sesi foto berlangsung. Aku semakin merasa tak sabar dan mulai sedikit putus asa. Tak tahu lagi sudah berapa lama aku terduduk di serambi masjid menunggu calon imamku tiba. Resah dan semakin resah. Make up-ku pun sedikit semi sedikit kini mulai luntur dan basah.

“Si abang koq belum nyampe juga ya? Dah berapa jam nih? Apa gak jadi datang?” sahut salah seorang temanku.

Aku jadi semakin bimbang. Aku coba menghubunginya melalui telpon genggamku. Tak dapat terhubung. Aku coba mengirimkan pesan singkat, namun tertulis ‘pending’.

Ya Allah… ada apa gerangan? Bila memang karena terhalang oleh rombongan pasangan yang tadi menikah di masjid ini, sudah mulai sepi begini kenapa belum juga tiba? Berbagai pertanyaan terus muncul dalam benakku. Pikiran-pikiran yang meresahkan hatiku terus menghantui. Aku semakin merasa kecewa dan duka. Hingga keputus-asaanku berbisik, “Mungkinkah harus batal kembali? Haruskah aku hadapi kenyataan yang lebih pahit lagi? Setelah aku pernah jua kecewa di masa lalu?”

Hanya doa yang dapat kupanjatkan. Entah air mata masih sanggup kutahan agar tak keluar.
Aku mendengar seorang tamu berkata, “Mungkin ka hana jadeh ijak. Lon woe mantong beuh (mungkin memang tidak jadi datang calonnya, saya pulang saja lah ya)” ungkapnya kepada ibuku.

Hatiku pakin pedih. Hancur terasa, pahit dan sesak. Tak lagi aku perdulikan cantiknya dandananku yang berbalut pakaian nikah ini. Air mata tak mampu lagi kubendung. Aku merasa gerah. Hingga selendang yang menutupi sebagian kepalaku akhirnya kubuka. Sudah terasa gatal dan aku sudah tak tahan.

“Sabar ya. Mudah-mudahan calonnya datang. Kita kan belum dapat kabar apa-apa soalnya” teman baikku mencoba sedikit menenangkanku.

***
Pikiranku kacau. Kembali terbuai dengan angan-angan yang mungkin tak akan pernah tersampaikan. Hatiku terus saja berbisik membuat aku tidak tenang.

“Kenapa abang? Apakah aku tak pantas untukmu hingga engkau tega memperlakukan aku seperti ini? Setelah aku telah yakin, setelah semuanya hadir, setelah aku hanya tinggal menunggumu di sini, kemudian aku engkau biarkan sendiri?” bisik batinku.

Pagi kini telah menjelang siang. Matahari semakin terik. Tetamu kini sebagian telah pulang. Aku tak perduli lagi dengan apa yang kukenakan. Kurubah posisi dudukku. Kubuka seluruh hiasan bunga-bunga yang tersemat di kepalaku. Hanya tinggal tudung abu-abu yang menutupi auratku. Make up pun kini sudah mulai memudar. Hanya ditemani ibuku dan teman-teman yang masih setia menguatkanku, berada di masjid ini bersamaku.

“Sudah gak ada harapan lagi. Sudah mau dhuhur, gak mungkin mereka datang lagi. Sudah, pulang saja!” sahut ibuku putus asa.

Kulihat teman-temanku seakan berpendapat sama. Mereka sudah terlihat amat bosan dan ingin segera pulang. Namun secuil batinku masih saja terus berharap. Setetes angan dan keyakinan bahwa engkau akan datang, wahai Cut Abang.

***

Sayup-sayup alunan ayat-ayat Al-qur’an dikumandangkan terdengar dari masjid. Aku hanya memandangi bunga-bunga melati yang tadinya tersemat indah di kepalaku, kini hanya mampu tergenggam layu di antara jari-jemari. Hatiku kian berdarah. Aku sudah tak tahan, dan kupikir aku akan segera beranjak pulang. Tanpa Cut Abang, yang sah sebagai imam. Hingga salah satu temanku berteriak keras membuyarkan lamunanku saat itu…

“Eh lihat, itu dia datang!” teriakannya membuat semua mata tertuju ke arah jari telunjukknya yang mengkomandokan arah.

Aku tertegun dan hatiku sesaat terasa begitu beku. Entah ini bahagia, entah ini luka. Beberapa lelaki berjalan memasuki gerbang masjid. Mereka hanya berpakaian koko dan celana kain, peci hitam yang tersemt di kepala mereka. Salah satu dari rombongan itu mengenakan pakaian abu-abu, mirip dengan warna pakaianku. Hanya saja sedikit terlihat berantakan, beberapa kancing bajunya terbuka, pertanda sepertinya ia kegerahan.

Lelaki itu terus saja berjalan mendekatiku. Wajahnya sangat tak asing. Membuatku tertegun dan hatiku terasa luluh. Kemarahan yang sedari tadi memuncak, seketika sirna tanpa bekas. Sampai ia tiba dihadapan.

“Adek, maaf ya. Tadi abang ada hal yang sangat dadakan. Masalah yang tak dapat terelak. Abang benar-benar minta maaf atas keterlambatan ini. Abang akan jelaskan detailnya nanti” sahutnya dengan penuh penyesalan.

Ia memasuki masjid dan bersalaman dengan kedua orang tuaku. Terlihat mereka larut dalam pembicaraan yang sangat serius. Sepertinya aku melihatnya dalam rasa bersalah. Sampai salah seorang lelaki yang ikut bersamanya tadi turut andil dalam pembicaraan tersebut. Entah aku tak dapat mendengarnya secara jelas, namun tak seberapa lama pembicaraan itu akhirnya selesai juga dan kedua belah pihak saling bersalama, larut dalam saling pengertian.

Lelaki yang kupanggil dengan sebutan ‘Abang’ kembali mendekatiku sambil tersenyum. Aku tak tahu bagaimana sudah penampilanku saat itu dihadapan calon suamiku. Tak ada lagi hiasan bunga yang tersemat indah di atas kepalau, tak ada lagi make up yang cantik, dan tak ada lagi ekpresi bahagia dan senyuman indahku saat itu.

“Apa pernikahan kita harus tertunda kali ini?” tanyaku sambil menahan isak tangis. Tak ingin air mataku tumpah dihadapannya.

“Adek gak usah khawatir ya. Insyaallah hari ini kita akan tetap menikah. Walau pun mungkin tidak meriah. Tapi tidak sekarang ya, karena udah azan dhuhur. Abang shalat dulu, ikut berjamaah” jawabnya singkat.

Aku merasa terlihat sangat buruk. Aku pun ingin segera menumpahkan segala keluh-kesahku pada Sang Khalik. Aku ingin juga menyegerakan diri membasuh muka dengan wudhu. Namun pakaian dan segala dandananku ini menyulitkanku. Aku pun lupa bahwa aku tidak membawa mukena. Dengan ribuan keresahan, aku menunggu shalat berjamaah di masjid selesai. Dan kembali aku melihat senyuman Cut Abang yang sangat kuharapkan menjadi suamiku segera.

“Yuk kita menemui penghulu. Kita gak nikah di dalam masjid, tapi di aula. Takut menganggu jamaah nanti” ajaknya sambil tersenyum.

“Abang sudah pernah berjanji untuk menikahi adek. Dan saatnya abang menepati janji itu” sambungnya sambil menggenggami tanganku, mengajakku ke arah aula tempat akan berlangsungnya akad nikah.

Tangannya terasa begitu hangat. Seakan ketenangan menyelimuti batinku saat itu. Tak ada lagi keresahan dan kegundahan. Kurasakan bukan bagaikan mimpi tapi kenyataan. Aku merasakan sangat dekat dengannya. Hingga tak mampu sepatah kata pun terucap dari bibir. Aku mengikuti langkahnya. Kulihat telah siap di sana berbagai hal yang diperlukan untuk berlangsungnya akad. Penghulu pun telah duduk di tempatnya, tinggal menunggu kedua mempelai tiba di hadapan. Cut abang memapahku ketempat duduk calon pengantin perempuan, dan ia pun beranjak duduk di tempat yang telah disediakan. Hatiku kian berdebar kencang bak tersambar petir yang kian menggelegar. Dadaku terasa kian sesak dan air mata bercucuran tak mampu tertahan…

Suara handphoneku berbunyi. Tanda subuh tengah menanti. Aku terbagun dari tempat tidurku. Memandang sekeliling kamar yang terasa sangat hening. Subhanallah! Baru saja aku bermimpi ternyata. Berulang kali kuucapkan asma Allah. Mimpi yang sangat indah sekali, menikah dengan seseorang yang selama ini kukagumi dan kucintai. Walau berawal dengan duka dan hampir putus asa. Namun mimpi itu serasa bagai nyata. Ya Allah, apakah ini pertanda dariMu?
Aku bangkit dari tempat tidurku, membasuh tubuhku dengan segarnya wudhu. Hingga kularutkan diri dalam buaian doa dan kulepaskan seluruh keresahan dan mimpi di hadapanNya… [N22/11/12]

---selesai---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar