Sastra menjadi belahan jiwa, Tulisan menjadi sebuah karya

Namaku Melati Lovebird. Kupilih nama 'Melati' karena ia Bunga yang harum, menghiasi hati, putih berseri dan melambangkan tanda suci. Tersemat di indahnya mahkota pengantin saat bahagia di hari yang dinanti-nanti. Aroma merona meneduhkan suasana. Walau tumbuh di antara belukar berduri, kecil mungil tertutup lebatnya dedaunan, namun menebarkan harum tanda cinta yang abadi di sepanjang waktu berganti. Kusandingkan namaku bersama 'Lovebird', sang burung yang tak kan terpisah tanda kesucian cinta. Tak akan pernah membagi hati, tak kan pernah mengkhianati...

Syair Sang Pujangga (2010)

Bias kisah di masa lalu. Saat 'Embun Pagi' menjadi panggilan indahmu.
Rangkaian kisah cerita melodi. Hanya menyiratkan kenangan yang bersemi.
Kepadamu, Sang Pujangga...



“Aku merasa bertemu dengan wanita dalam mimpiku
Wanita yang seluruh dirinya adalah kesucian
Sinarnya putih menyilaukan
Matanya teduh menyejukkan
Di hatinya aku tertidur dalam lelah dan dukaku
Di hatinya aku tertidur dalam kasih Tuhan”

-Sang Pujangga-
(10 November 2010, 4.00 PM)


“Jangan pernah habiskan malam menjemput pagi
Karena esok kau harus menjelang matahari dengan senyuman yang teduh itu.
Biarlah aku menghabiskan malam,
Karena malam akan kuurai laraku dan kubaca maknanya,
Dan nantinya akan menjadi cerminku
Agar tak lagi ada duka yanag menikam walau dalam gelap
Karena kegelapan menyembunyikan pisau liciknya,
bersembunyi di balik senyum manis.
Janganlah pernah kulihat tangismu
Karena kau terlalu indah untuk menangis.
Cukuplah izinkan aku menahan setiap dukamu,
izinkan aku membasuh setiap peluh letihmu,
dan katakan jalan mana yang harus ku lalui untukmu…”

-Sang Pujangga-
(24 Oktober 2010, 2.15 AM)



Dimana kau embun pagi,
Aku rindu tetes bening menyerbuk kering, gersang jiwa
Duh hari ini,..sesaat aku kehilangan senyum manis,dan candamu
damaikan jiwa ku,.

-Sang Pujangga-
(24 Oktober 2010, 4.27 PM)



Embun pagi,..
Cukupkan air yang menetes dari pipi,
Ku tau tulus nian hati mu.
Biarlah lelaki pengembara sepi ini mengapai matahari,
Dan kuberikan hangatnya pada pagi yang mendinginkan tubuhmu.

Embun pagiku,..
Biarkanlah lelaki pengembara sepi malam ini
Menahan lukanya dan nestapa mu
Karena senyummu adalah sumber kekuatan.
Saat nyenyak tidur mu,
Akupun tetap terjaga
Agar kau tetap lelap lewati malam..
Duuh..Gusti jagalah ia selalu..
Agar damai dan bahagia miliknya selalu
Walau aku tetap menelusuri..sunyi
sepi..
dalam kidung..
..sendiri
karena bahagianya adalah bahagia ku…

-Sang Pujangga-
(2 November 2010, 2.58 AM)



“Selamat tidur duhai bidadariku
Ku sebut kau bidadari, karena kau hadir dalam kelamku
Kau berikan keindahan senyum tulus dalam kelam
Membalut deritaku…”
-Sang Pujangga-
(30 Oktober 2010, 12.43 AM)



“Ya Rabbi,
Ingin ku tangisi ia dalam sajadahku
Indah nian hatinya
Lalu bagaimana indahnya Engkau,
Ya Rahman ya Rahim…”
-Sang Pujangga-
(3 November 2010, 7.36 PM)



Masyaallah…
Nikmatnya hati yang lembut, jiwa yang suci
Bukankah ini yang kita cari?
Terimakasih embun,
Kau antarkan aku pada hakikat hidup
Yaitu nilai Ilahi…”
-Sang Pujangga-
(10 November 2010, 7.17 PM)


“Duhai embun,
Tenanglah batin
Karena akulah penjaga hati
Dari keresahan dan kegelisahanmu
Di setiap waktu yang terlewati

Indah nian sudah hari-hari yang hadir
Dari kasih yang tulus
Ku persembahkan dari kasih yang agung
Berasal dari kedalaman samudera hatiku…”

-Sang Pujangga-
(7 November 2010, 10.12 PM)


“Janjiku bagai matahari
Yang selalu terbit dari pagi hingga malam berakhir
Dan tenggelam bila senja menyingsing
Tiada pernah ingkar
Walau sampai akhirnya bumi berakhir”

-Sang Pujangga-
(7 November 2010, 1.59 PM)


“Sampai saat ini kau telah buktikan,
Betapa kau telah sulut api semangat hidupku di saat hampir padam
Telah kau ulurkan tanganmu di saat aku terjatuh
Telah kau peluk hatiku dengan senyummu itu
Maka izinkan aku selalu menjaga
Agar tak pernah ada duka yang hadir di dirimu”

-Sang Pujangga-
(2 November 2010, 1.21 PM)
“Aku pengembara sunyi
Melintasi malam, deretan lampu mercury, dan debu kota
Menghabiskan malam sampai di penghujung pagi
Mencoba menterjemahkan makna kasih yang hadir”
-Sang Pujangga-
(6 November 2010, 7.32 PM)


“Hanya kasih sayang,
Saling memberi dan menerima dalam persahabatan,
Kau ulurkan tanganmu saat aku terperosok jatuh,
Dengan kesederhanaan,
Kau tiupkan kembali semangatku”
-Sang Pujangga-
(25 Oktober 2010, 9.30 PM)


“Senyuman itu,
Semogalah selalu menjadi embun pagi yang membasuh lara
Jiwa pengembara sepi
Berharap tak lagi dermaga kecil ini
Membawa lagu duka yang menjerat sepi
di antara tali-temali kapal
dan kidung camar saat senja menjelang
Saat malam,
Semoga mampu kusapa dengan keindahan hatimu.
Terimakasih Tuhan, aku bisa mengenalnya.”
-Sang Pujangga-
(21 Oktober 2010, 8.11 PM)


“Akulah yang memilih pengembaraan sepi
Agar dapat keduanya kuantar ke gerbang bahagia
Lalu biarkanlah aku di sisi Tuhan
Melanjutkan pengembaraan sepi”
-Sang Pujangga-
(8 November 2010, 9 PM)




“Sempurnalah kau gambarkan aku
Tapi tahukah kau rubah hariku
Kau warnai hidupku
Dua hati dalam ruang hati dan batasan
Yang tak dapat dilanggar
Tapi memberi cinta yang tulus
Dalam kasih Tuhan”
-Sang Pujangga-
(6 November 2010, 2.07 PM)


“Terimakasih embun pagiku,
Terimakasih kau tetap mau hadir di sini
Meski ku tau,
Ada hari bahagia menyapamu”
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 11.02 PM)



“Terimakasih,
Perlahan-lahan kau bawa aku dalam cinta yang agung
Yaitu cinta kasih Tuhan yang tak pernah mati
Maka padaNya kuserahkan cintaku, hidup dan matiku”
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 11.04 PM)


“Aku tahu kita takkan pernah bisa
Karena kita pahami keadaan ini
Dan kita saling mempercayai untuk tidak melanggarnya
Kita sama-sama pernah terluka
Jadi tahu sakit itu rasanya”
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 2.48 PM)


“Taukah kau,
 bagaimana harus kulewati ribuan hari dan malam dengan sepi, kosong, dan hampa?
Aku bagai dermaga sepi tanpa ada yang bersandar.
Tak ada tali-temali kapal, yang ada hanyalah camar yang pulang saat senja.
Dan itu pun hanya melintas…”
-Sang Pujangga-
(28 Oktober 2010, 7.27 PM)

“Sudahlah embun,
Akulah yang salah.
Aku lupa siapa diri.
Kau bidadari yang begitu jauh untuk ku jangkau dan meraihnya
Sungguhku menyadari itu
Lalu hanya ku dapat berharap mencintai bayanganmu”

-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.09 PM)


“Kuhanya dapat menyerahkan
Hidup dan matiku untukmu,
Hanya untukmu
Sampai Tuhan menentukan batas waktuku
Bila itu sampai,
Kau pun telah bahagia
bersamanya…”
-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.13 PM)


“Malam ini,
Aku sungguh lelah, remuk, menggapai-gapai dirimu
Yang mungkin semakin menjauh.
Kau lihat hujan di luar jendela itu?
Itulah rinai hatiku
Dan aku tertidur dalam rinai itu…”
-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.19 PM)


“Apapun yang ku terima
Apapun yang kau lakukan
Aku terima dengan ketulusan
Dendam, amarah, tak pernah ada di hatiku
Yang kuberikan hanyalah kedamaian
Dan kasih tulus untukmu”
-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.51 PM)


“Biarlah hujan yang tau
Biarlah hanya Tuhan yang tau
Isi hatiku
Untukku
Wahai jiwa pecinta sejati
Tidurlah
Lelah nian hati
Cukup sudah perih ini
Jangan lagi paksakan kuat kaki ini bertahan
Karena semakin luka hatimu”
-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.56 PM)


“Maafkan aku embun,
Malam aku tak dapat tidur
Semakin kuat kehadiranmu
Semakin ku sadari kau penuh arti
dan bermakna dalam kehidupanku.

Malam godaan ada yang hadir begitu kuat,
Lalu kuingat keindahan Tuhan pada diri mu
Tak berani ku penjamkan mata
Karena takut lemah bila kehilangan bayanganmu.
Embun, aku butuh arah dari mu,.."
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 4.45 AM)



“Di danau itu pula telah ku titipkan hatiku,
Sampai nanti waktu menjelang
Bila tidak, maka kubiarkan cintaku menjadi milikNya
Tempat di mana asal mula berasal
Bagai bangau pulang senja
Di atas awan merah
KepadaNya, kunanti kembali...
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 4.49 AM)




“Akan kutulis ratusan puisi
Untuk mengambarkan keindahanmu
Karena tak cukup untuk mengambarkan indahmu
yang hadir membawa keindahan Tuhan
Dalam bersihnya sinar iman
Membawa kesuciaan hati
Membawa nilai mulia
Membawa kasih tulus
Yakinkan aku,
Bahwa kemuliaan itu masih ada di bumi ini…

-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 5.24 AM)


“Cukupkan air yang menetes di wajah mu
Karena kutau kelam duka di hati mu, juga hatiku
Cukupkan segala galaumu
Karena pajang nian waktu malam yang harus kuhabiskan
Tentang bagaimana aku harus hentikan semua duka itu
Akupun akan terjebak pada seribu pertanyaan untuk menghentikan
Agar pelangi hadir kembali di wajah pemilik sang hati suci…”

-Sang Pujangga-
(13 November 2010, 2.09 AM)


“Telah kita lewati badai itu dengan lembut
Selembut kasih ibu kau hangatkan tubuh yang tekulai lemas
Melawan dingin kemarin malam
Bagaimana ku tawar bumi,
Sementara hanya senyum yang kau pinta,
dan itu cukup bagi mu.
Bagai mana ku tawarkan kehidupan,
Sementara nilai ILLAHI yang kau inginkan
Hakekat kehidupan suci yang kau persembahkan
Maka bersama itu ,kini kau menjadi jalan ibadah bagi ku…”

-Sang Pujangga-
(13 November 2010, 2.19 AM)



“Kutulis catatan ini di penghujung malam
Di antara riak gelombang bermain di unjung dermaga itu
Kutulis catatan ini di saat tangan dan tubuhku telah lelah mencari ruang walaupun di sudut hati mu.
Kutulis catatan ini,
Saat akan terkapar kembali kedermaga itu.
Kutulis catatan ini,
Saat tak ada lagi asa yang dapat k titipkan walau setitik asa sekalipun,
Hanya ingin kau tau,
Adakah kau tau betapa berat aku harus melewati hari tanpamu,
Adakah kau tau bagaimana akau harus melewati malam
dengan tiada asa setitik pun untuk mengapai mimpi bersama mu,
sementara matahari pun telah padam”
-Sang Pujangga-
(23 November 2010, 3.30 AM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar