Rangkaian kisah cerita melodi. Hanya menyiratkan kenangan yang bersemi.
Kepadamu, Sang Pujangga...
“Aku merasa bertemu dengan wanita dalam mimpiku
Wanita yang seluruh dirinya adalah kesucian
Sinarnya putih menyilaukan
Matanya teduh menyejukkan
Di hatinya aku tertidur dalam lelah dan dukaku
Di hatinya aku tertidur dalam kasih Tuhan”
-Sang Pujangga-
(10 November 2010, 4.00 PM)
“Jangan pernah
habiskan malam menjemput pagi
Karena esok kau harus menjelang matahari dengan senyuman
yang teduh itu.
Biarlah aku menghabiskan malam,
Karena malam akan kuurai laraku dan kubaca maknanya,
Dan nantinya akan menjadi cerminku
Agar tak lagi ada duka yanag menikam walau dalam gelap
Karena kegelapan menyembunyikan pisau liciknya,
bersembunyi di balik senyum manis.
Janganlah pernah
kulihat tangismu
Karena kau terlalu indah untuk menangis.
Cukuplah izinkan aku menahan setiap dukamu,
izinkan aku membasuh setiap peluh letihmu,
dan katakan jalan mana yang harus ku lalui untukmu…”
-Sang Pujangga-
(24 Oktober 2010, 2.15 AM)
“Dimana kau embun
pagi,
Aku rindu tetes bening menyerbuk kering, gersang jiwa
Duh hari ini,..sesaat aku kehilangan senyum manis,dan
candamu
damaikan jiwa ku,.”
-Sang Pujangga-
(24 Oktober 2010, 4.27 PM)
“Embun pagi,..
Cukupkan air yang menetes dari pipi,
Cukupkan air yang menetes dari pipi,
Ku tau tulus nian hati mu.
Biarlah lelaki pengembara sepi ini mengapai matahari,
Biarlah lelaki pengembara sepi ini mengapai matahari,
Dan kuberikan hangatnya pada pagi yang mendinginkan tubuhmu.
Embun pagiku,..
Embun pagiku,..
Biarkanlah lelaki pengembara sepi malam ini
Menahan lukanya dan nestapa mu
Karena senyummu adalah sumber kekuatan.
Saat nyenyak tidur mu,
Saat nyenyak tidur mu,
Akupun tetap terjaga
Agar kau tetap lelap lewati malam..
Duuh..Gusti jagalah ia selalu..
Duuh..Gusti jagalah ia selalu..
Agar damai dan bahagia miliknya selalu
Walau aku tetap menelusuri..sunyi
sepi..
dalam kidung..
..sendiri
karena bahagianya adalah bahagia ku…”
sepi..
dalam kidung..
..sendiri
karena bahagianya adalah bahagia ku…”
-Sang Pujangga-
(2 November 2010, 2.58 AM)
“Selamat
tidur duhai bidadariku
Ku sebut
kau bidadari, karena kau hadir dalam kelamku
Kau berikan
keindahan senyum tulus dalam kelam
Membalut
deritaku…”
-Sang Pujangga-
(30 Oktober 2010, 12.43 AM)
“Ya Rabbi,
Ingin ku
tangisi ia dalam sajadahku
Indah nian
hatinya
Lalu bagaimana
indahnya Engkau,
Ya Rahman
ya Rahim…”
-Sang Pujangga-
(3 November 2010, 7.36 PM)
“Masyaallah…
Nikmatnya
hati yang lembut, jiwa yang suci
Bukankah
ini yang kita cari?
Terimakasih
embun,
Kau
antarkan aku pada hakikat hidup
Yaitu nilai
Ilahi…”
-Sang Pujangga-
(10 November 2010, 7.17 PM)
“Duhai
embun,
Tenanglah batin
Karena
akulah penjaga hati
Dari
keresahan dan kegelisahanmu
Di setiap
waktu yang terlewati
Indah nian
sudah hari-hari yang hadir
Dari kasih
yang tulus
Ku
persembahkan dari kasih yang agung
Berasal
dari kedalaman samudera hatiku…”
-Sang Pujangga-
(7 November 2010, 10.12 PM)
“Janjiku
bagai matahari
Yang selalu
terbit dari pagi hingga malam berakhir
Dan
tenggelam bila senja menyingsing
Tiada
pernah ingkar
Walau
sampai akhirnya bumi berakhir”
-Sang Pujangga-
(7 November 2010, 1.59 PM)
“Sampai
saat ini kau telah buktikan,
Betapa kau
telah sulut api semangat hidupku di saat hampir padam
Telah kau
ulurkan tanganmu di saat aku terjatuh
Telah kau
peluk hatiku dengan senyummu itu
Maka izinkan
aku selalu menjaga
Agar tak
pernah ada duka yang hadir di dirimu”
-Sang Pujangga-
(2 November 2010, 1.21 PM)
“Aku
pengembara sunyi
Melintasi
malam, deretan lampu mercury, dan debu kota
Menghabiskan
malam sampai di penghujung pagi
Mencoba
menterjemahkan makna kasih yang hadir”
-Sang Pujangga-
(6 November 2010, 7.32 PM)
“Hanya
kasih sayang,
Saling
memberi dan menerima dalam persahabatan,
Kau ulurkan
tanganmu saat aku terperosok jatuh,
Dengan
kesederhanaan,
Kau tiupkan
kembali semangatku”
-Sang Pujangga-
(25 Oktober 2010, 9.30 PM)
“Senyuman
itu,
Semogalah
selalu menjadi embun pagi yang membasuh lara
Jiwa
pengembara sepi
Berharap
tak lagi dermaga kecil ini
Membawa
lagu duka yang menjerat sepi
di antara
tali-temali kapal
dan kidung
camar saat senja menjelang
Saat malam,
Semoga
mampu kusapa dengan keindahan hatimu.
Terimakasih
Tuhan, aku bisa mengenalnya.”
-Sang Pujangga-
(21 Oktober 2010, 8.11 PM)
“Akulah
yang memilih pengembaraan sepi
Agar dapat
keduanya kuantar ke gerbang bahagia
Lalu biarkanlah
aku di sisi Tuhan
Melanjutkan
pengembaraan sepi”
-Sang Pujangga-
(8 November 2010, 9 PM)
“Sempurnalah
kau gambarkan aku
Tapi
tahukah kau rubah hariku
Kau warnai
hidupku
Dua hati
dalam ruang hati dan batasan
Yang tak
dapat dilanggar
Tapi memberi
cinta yang tulus
Dalam kasih
Tuhan”
-Sang Pujangga-
(6 November 2010, 2.07 PM)
“Terimakasih
embun pagiku,
Terimakasih
kau tetap mau hadir di sini
Meski ku
tau,
Ada hari
bahagia menyapamu”
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 11.02 PM)
“Terimakasih,
Perlahan-lahan
kau bawa aku dalam cinta yang agung
Yaitu cinta
kasih Tuhan yang tak pernah mati
Maka
padaNya kuserahkan cintaku, hidup dan matiku”
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 11.04 PM)
“Aku tahu
kita takkan pernah bisa
Karena kita
pahami keadaan ini
Dan kita
saling mempercayai untuk tidak melanggarnya
Kita
sama-sama pernah terluka
Jadi tahu
sakit itu rasanya”
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 2.48 PM)
“Taukah
kau,
bagaimana harus kulewati ribuan hari dan malam
dengan sepi, kosong, dan hampa?
Aku bagai
dermaga sepi tanpa ada yang bersandar.
Tak ada
tali-temali kapal, yang ada hanyalah camar yang pulang saat senja.
Dan itu pun
hanya melintas…”
-Sang Pujangga-
(28 Oktober 2010, 7.27 PM)
“Sudahlah
embun,
Akulah yang
salah.
Aku lupa
siapa diri.
Kau
bidadari yang begitu jauh untuk ku jangkau dan meraihnya
Sungguhku
menyadari itu
Lalu hanya
ku dapat berharap mencintai bayanganmu”
-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.09 PM)
“Kuhanya
dapat menyerahkan
Hidup dan
matiku untukmu,
Hanya
untukmu
Sampai
Tuhan menentukan batas waktuku
Bila itu
sampai,
Kau pun
telah bahagia
bersamanya…”
-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.13 PM)
“Malam ini,
Aku sungguh
lelah, remuk, menggapai-gapai dirimu
Yang
mungkin semakin menjauh.
Kau lihat hujan
di luar jendela itu?
Itulah
rinai hatiku
Dan aku
tertidur dalam rinai itu…”
-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.19 PM)
“Apapun
yang ku terima
Apapun yang
kau lakukan
Aku terima
dengan ketulusan
Dendam,
amarah, tak pernah ada di hatiku
Yang kuberikan
hanyalah kedamaian
Dan kasih
tulus untukmu”
-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.51 PM)
“Biarlah
hujan yang tau
Biarlah
hanya Tuhan yang tau
Isi hatiku
Untukku
Wahai jiwa
pecinta sejati
Tidurlah
Lelah nian
hati
Cukup sudah
perih ini
Jangan lagi
paksakan kuat kaki ini bertahan
Karena
semakin luka hatimu”
-Sang Pujangga-
(11 November 2010, 10.56 PM)
“Maafkan
aku embun,
Malam
aku tak dapat tidur
Semakin
kuat kehadiranmu
Semakin
ku sadari kau penuh arti
dan bermakna dalam kehidupanku.
Malam
godaan ada yang hadir begitu kuat,
Lalu kuingat keindahan Tuhan pada diri mu
Tak
berani ku penjamkan mata
Karena
takut lemah bila kehilangan
bayanganmu.
Embun, aku butuh arah dari mu,.."
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 4.45 AM)
“Di danau itu pula telah ku titipkan hatiku,
Sampai nanti waktu menjelang
Bila tidak, maka
kubiarkan cintaku menjadi milikNya
Tempat di mana asal mula berasal
Bagai bangau pulang senja
Di atas awan merah
KepadaNya, kunanti kembali...”
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 4.49 AM)
“Akan kutulis ratusan puisi
Untuk mengambarkan keindahanmu
Karena tak cukup untuk
mengambarkan indahmu
yang hadir membawa keindahan Tuhan
Dalam bersihnya sinar iman
Membawa kesuciaan hati
Membawa nilai mulia
Membawa kasih tulus
Yakinkan aku,
Membawa kesuciaan hati
Membawa nilai mulia
Membawa kasih tulus
Yakinkan aku,
Bahwa kemuliaan itu masih ada di bumi ini…”
-Sang Pujangga-
(4 November 2010, 5.24 AM)
“Cukupkan air yang
menetes di wajah mu
Karena kutau kelam
duka di hati mu, juga hatiku
Cukupkan segala galaumu
Cukupkan segala galaumu
Karena pajang nian
waktu malam yang harus kuhabiskan
Tentang bagaimana
aku harus hentikan semua duka itu
Akupun akan terjebak pada seribu pertanyaan untuk menghentikan
Akupun akan terjebak pada seribu pertanyaan untuk menghentikan
Agar pelangi hadir
kembali di wajah pemilik sang hati suci…”
-Sang Pujangga-
(13 November 2010, 2.09 AM)
“Telah kita lewati
badai itu dengan lembut
Selembut kasih ibu
kau hangatkan tubuh yang tekulai lemas
Melawan dingin
kemarin malam
Bagaimana ku tawar
bumi,
Sementara hanya
senyum yang kau pinta,
dan itu cukup bagi
mu.
Bagai mana ku
tawarkan kehidupan,
Sementara nilai
ILLAHI yang kau inginkan
Hakekat kehidupan
suci yang kau persembahkan
Maka bersama itu
,kini kau menjadi jalan ibadah bagi ku…”
-Sang Pujangga-
(13 November 2010, 2.19 AM)
“Kutulis catatan
ini di penghujung malam
Di antara riak
gelombang bermain di unjung dermaga itu
Kutulis catatan ini di saat tangan dan tubuhku telah lelah mencari ruang walaupun di sudut hati mu.
Kutulis catatan ini,
Kutulis catatan ini di saat tangan dan tubuhku telah lelah mencari ruang walaupun di sudut hati mu.
Kutulis catatan ini,
Saat akan terkapar
kembali kedermaga itu.
Kutulis catatan ini,
Kutulis catatan ini,
Saat tak ada lagi
asa yang dapat k titipkan walau setitik asa sekalipun,
Hanya ingin kau tau,
Adakah kau tau betapa berat aku harus melewati hari tanpamu,
Adakah kau tau bagaimana akau harus melewati malam
Hanya ingin kau tau,
Adakah kau tau betapa berat aku harus melewati hari tanpamu,
Adakah kau tau bagaimana akau harus melewati malam
dengan tiada asa
setitik pun untuk mengapai mimpi bersama mu,
sementara matahari
pun telah padam”
-Sang Pujangga-
(23 November 2010, 3.30 AM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar